21 November 2005

Absurditas kepercayaan-kepercayaan religius

Sebuah panggilan untuk perubahan




Mengapa dialog agama selalu gagal

Saya menyadari bahwa komunikasi, dialog adalah cara yang baik untuk menumbuhkan pluralisme, etika dan sikap-sikap yang toleran di antara umat, beragama maupun tidak.

Akan tetapi berdialog dengan seorang yang terdogmatisir agama seringkali menjadi satu hal yang tersulit, hanya karena (yang saya amati) ada dua penyumbat dialog yang digunakan untuk menutup dirinya dari ketakutannya akan kemungkinan perubahan iman atau kepercayaan yang dianut jika dia menerima suatu gagasan tertentu. Penyumbat-penyumbat komunikasi itu adalah, pertama, "jangan gunakan logika/pikiran." kedua, "itu ada di alkitab." Saya akan mencoba menjelaskan secara singkat permasalahannya dari sudut pandang saya, implikasinya secara umum dalam agama-agama, dan apa yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki kondisi dunia saat ini.

"Jangan gunakan logika.."

Adalah kalimat yang hampir selalu diucapkan "orang percaya" ketika membahas atau berdiskusi tentang misteri tuhan. Ketika saya pernah membahas dengan seorang rekan mengenai hal-hal keagamaan yang diluar lingkup kepercayaan agama katholik, saya diingatkan untuk "jangan terlalu dipikirkan, yang penting percaya saja."
Saya ingat juga ketika para anggota milis salah satu gereja membahas seorang pastur yang diketahui telah melanggar aturan selibat dan selama beberapa tahun telah menjalin cinta dengan orang lain, kita diingatkan kembali untuk "tidak usah pusing, biarlah para romo saja yang memikirkan hal itu."
Dalam hampir setiap pembicaraan dengan berbagai rekan, dapat muncul pernyataan yang mengingatkan agar kita tidak boleh memakai logika untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut agama, apalagi tuhan. Tuhan hanya dapat dirasakan keberadaannya di hati.

Saya setuju, tuhan yang tak terbatas tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh logika manusia yang terbatas. Tapi yang kemudian terjadi justru sangat kontradiktif, dimana orang beragama diharuskan untuk melandaskan pemahamannya tentang tuhan semata-mata pada keterbatasan logika dan cara pandang orang-orang terkemuka maupun para nabi yang pernah hidup di jaman ribuan tahun yang lalu yang diajarkan dari mulut ke mulut dan kemudian dituliskan dalam apa yang menjadi kumpulan manuskrip yang lalu dianggap sebagai inspirasi roh atau bisikan malaikat dan kemudian dijadikan sebagai kitab suci. Dan karena karena telah dianggap "suci" -bahkan masih banyak yang meyakini alkitab sebagai tulisan atau kata-kata dari Tuhan sendiri- sehingga pada akhirnya tidak boleh diperbantahkan oleh siapapun.

Dus, hal ini membawa kita kepada problematika selanjutnya, penyumbat yang kedua.

"It's in the bible.."

Satu kalimat itu dapat membuat sebuah diskusi berhenti mati. Hal ini berulang kali saya alami dalam berbagai kesempatan berdiskusi khususnya dengan orang beragama konservatif, seperti misalnya diskusi homoseksualitas, pendidikan anak, dsb, yang segera berhenti ketika orang itu telah berkata, "itu ada di alkitab."
Berbagai pandangan yang membenarkan sikap memusuhi atau menajiskan homoseksualitas berasal dari alkitab. Berbagai pandangan orang tua bahwa anak-anaknya harus dipukuli berasal dari alkitab.
Maka jika seseorang sudah menyatakan, "itu ada di alkitab," end of discussion. Apapun argumen yang saya berikan akan ditolak mentah-mentah, tidak mau dipertimbangkan. Dialog berhenti, karena jika diteruskan, seringkali menjadi debat kusir yang mungkin tidak ada habisnya, sehingga suasana menjadi memanas dan dapat merusak persahabatan.

Setelah menjumpai perilaku tersebut dalam cara pikir banyak orang, saya dapat memahami mengapa kepercayaan dan tradisi dalam agama seringkali tidak boleh dipertanyakan, karena mempertanyakan agama ekuivalen dengan mempertanyakan atau dapat dianggap meragukan tuhan, dinilai imannya lemah, bahkan dapat dicap sesat, murtad.

Kalau kita bertanya lagi mengapa bisa sampai begitu? jawabannya kembali lagi pada penyumbat pertama, "jangan pakai logika."
Dua penyumbat ini, telah menjerumuskan manusia ke dalam lembah ketidakpedulian dan intoleransi, serta menumbuh-kembangkan sikap denial/penolakan-penolakan terhadap rasio dan realitas.
Disadari atau tidak, dua penyumbat ini menurut saya adalah kunci sukses pertikaian antar umat dan pengkotak-kotakan agama yang selama ini terus berlangsung.

Ineransi dan infalibilitas alkitab/alqur'an

Kecenderungan yang sering saya jumpai, adalah kepercayaan bahwa alkitab tidak mungkin memiliki kesalahan. Alkitab adalah ineran, infalibel, suci. Yang mungkin salah adalah interpretasi dari manusia-manusia. Saya paham jika orang menuding kepada interpretasi yang dianggap menyimpang, karena banyak sekali perbedaan interpretasi orang-orang percaya akan berbagai ayat dalam alkitab yang diakui maupun tidak telah membuahkan kebingungan dan perpecahan yang dahsyat di antara umat gereja-gereja.

Tapi dari yang saya pelajari, sebagian besar manuskrip yang terkumpul dalam alkitab itu banyak merupakan penggambaran akan peradaban dunia di masa lalu dimana kepercayaan adanya perang antara dewa-dewa atau antara tuhan dengan setan masih begitu kental, menggambarkan pemikiran orang-orang di masa itu tentang dua wajah tuhan yang kontradiktif, yang mana di satu sisi maha pengasih dan penyayang, di sisi lain maha pemarah, pendendam, pencemburu, haus darah, dan lain sebagainya.

Bagaikan pisau, sebuah alkitab merupakan paradoks yang di satu sisi mengandung kata-kata bijak, di sisi lain mengandung ayat-ayat yang terus menuai berbagai interpretasi kepercayaan teologis yang absurd, sebagai contoh antara lain:

- tuhan harus ditakuti,
- tuhan pemarah, pencemburu, pendendam, suka perang,
- manusia dilahirkan dalam dosa
- manusia terpisah dari tuhan
- orang berdosa masuk neraka
- orang yang tidak percaya kepada tuhan, atau tidak bertobat, setelah mati akan disiksa di neraka,
- anak harus dipukul,
- orang yang murtad harus dibunuh,
- pandangan sosio-biologi yg simplistik ttg jender,
- homoseksual harus dibunuh karena melanggar kodrat,
- perempuan harus tunduk pada laki-laki karena itu kodratnya,
- dosa manusia ditebus dengan darah kristus,
- gereja adl penerus tubuh kristus di dunia,
- ratusan ramalan akhir jaman yang menakutkan, kiamat, hari penghakiman,
- air, minyak, atau ornamen, batu-batuan tertentu yang telah melalui proses ritual, dipercaya memiliki kekuatan mujizat,
- infalibilitas paus (dinyatakan pertama kali pada Konsili Vatikan I tahun 1869-1870),
- dan masih banyak hal lainnya.

Hal yang sama (dari yang insignifikan hingga kekerasan, perintah-perintah untuk membunuh dsb.) banyak terkandung di dalam alqur'an.

Sebagian besar pengikut aliran kepercayaan agama (islam, kristen, dan lainnya) telah banyak mengesampingkan, dan menekan, merepresi akal budi, logika kita sebagai mahluk yang memiliki kapasitas intelektual tinggi, demi suatu dogma atau kepercayaan yang menjatuhkan akhlak manusia ke tingkat yang sulit dibayangkan untuk abad ini, yang dilandaskan semata-mata pada sebuah -hasil terjemahan ribuan tahun- kitab yang diterima dan diagungkan sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang mutlak.

Oleh karena satu hal dan yang lain yang saling kontradiktif tersebut, saya dapat memahami mengapa orang dalam beragamanya merasa perlu menekan bahkan menghilangkan rasionalitas, logikanya, yang akibatnya justru fatal.

Iman vs. rasio

Liberalisasi logika, penggunaan rasio, dan pengembangan ilmu pengetahuan telah terbukti berulang kali menyelamatkan peradaban manusia dari kegelapan yang diakibatkan oleh ketidakpedulian institusi-institusi agama yang telah mengesampingkan logika dan etika.

Kita kini menyadari bahwa bumi itu bulat, tidak datar, kita menyadari bahwa matahari tidak mengelilingi bumi. Kita mengetahui bahwa seseorang yang mengalami kejang akut tidak berarti dia dirasuki setan. Kita menyadari bahwa memukul anak bukanlah cara yang bijak dalam mengasuh. Kita juga menyadari dari ratusan ramalan biblikal tentang akhir jaman di masa lalu, tidak ada satupun yang terjadi.

Akan tetapi hingga saat ini pengesampingan logika demi kepercayaan-kepercayaan absurd masih ada dan terus dilestarikan, jika tidak mau dikatakan semakin meledak.

Kemudian, jika saya amati Islam dan terorisme, fakta menunjukkan telah berulangkali terjadi bom bunuh diri yang direncanakan secara sistematis, pembunuhan terhadap golongan yang dianggap kafir, berbagai bentuk penindasan terhadap orang yang tidak seagama, dan lain-lain. Kesemuanya itu (dari pengamatan saya) merupakan hasil interpretasi dari kitab suci oleh orang-orang yang dikatakan sebagai fundamentalis, literalis. Menjadi ironi ketika sebagian kelompok yang moderat atau liberal menuding itu bukan bagian dari agamanya. Disini telah terjadi denial, pengesampingan logika.

Jika kelompok fundamentalis telah berada dalam penolakan, menutup pandangan terhadap pluralisme yang terkandung dalam agamanya, kelompok moderat-liberal telah menutup sebelah mata pada kenyataan bahwa agamanya memiliki kaitan yang signifikan dengan kekerasan, penindasan, dan peperangan yang dilakukan kelompok fundamentalis.

Perubahan

Yang ingin saya sampaikan adalah, salah satu persoalan utama yang sedang kita hadapi (yang justru kita abaikan) terletak pada teks-teks, ayat-ayat yang ada di dalam alkitab, alqur'an, yang -ditilik dari ekses negatifnya- telah melestarikan berbagai bentuk kepercayaan-kepercayaan absurd di berbagai kalangan masyarakat yang menjadi landasan untuk terjadinya berbagai kekerasan, penindasan dan penderitaan yang terus terjadi di dunia saat ini.

Sepanjang teman-teman kita dari kalangan moderat atau bahkan liberal tetap menggunakan "mata pisau" yang sama digunakan oleh orang-orang konservatif-fundamentalis untuk melestarikan kebencian dan keinginan membunuh/menghancurkan, kekerasan dan pembunuhan atas nama tuhan akan berulang kembali terus menerus. Dan dialog sebetapapun intensifnya dilakukan, akan sia-sia sepanjang dua penyumbat tetap dipasang.

Kita perlu mulai mengambil langkah konkrit untuk mengakui dan menghargai kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari sejarah masa lalu. Kita perlu membuka diri dan membuang penyumbat-penyumbat dialog, serta mengakui secara tulus bahwa ada yang salah dalam sebagian dari kepercayaan-kepercayaan yang kita anut.
Demi generasi-generasi selanjutnya, kita perlu sepakat untuk melakukan perubahan, amandemen, koreksi tidak hanya terhadap interpretasi tapi juga ayat-ayat dari kitab suci masing-masing agama. Ayat-ayat ambigu yang berpotensi/telah menimbulkan berbagai tragedi yang menyengsarakan umat manusia seperti perang, kekerasan, pembunuhan, diskriminasi jender, dan nilai-nilai usang lain yang sudah bukan masanya lagi perlu ditinggalkan, dimusiumkan, dan dihapus dari doktrin kepercayaan agamanya agar tidak lagi dapat disalahgunakan, disalahinterpretasikan untuk kepentingan atau egotisme seseorang atau kelompok.

Singkatnya, agama -baik islam, kristen/katholik, dan lainnya- sudah waktunya harus diubah, disegarkan, diperbarui. Dan perubahan kali ini harus radikal, dan berkesinambungan. Pandangan-pandangan dan pemahaman akan tuhan yang paradoksikal dan eksklusif, perlu dialihkan menjadi open-source, yang saling bergantung dan saling melengkapi satu sama lain, interdependen. Agama harus menarik dirinya yang telah begitu mengakar ke dalam budaya, sosial dan politik masyarakat. Institusi agama perlu kembali pada jati dirinya sebagai murni agama, kembali pada fungsinya semula sebagai penasihat bijak yang mampu beradaptasi pada berbagai perubahan sosial, menunjang stabilitas moral dalam masa transisi perubahan, menumbuhkan persaudaraan antara umat manusia dalam mengarungi perkembangan jaman yang dinamis.

Impossibility? Tidak. Inevitability. Agama diadakan untuk kesejahteraan umat manusia, bukan sebaliknya untuk kejayaan agama. Agama-agama HARUS berubah, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri, demi masa depan peradaban dan generasi umat manusia yang lebih baik.

18 November 2005

You Are God. Get Over It!

Preface
---------

Freedom is not superior to limitation;
with this realization I am able to choose freedom.

Happiness is not superior to suffering;
with this realization I am able to let go of suffering.

Abundance is not superior to poverty;
with this realization my abundance flows.

Nothing is superior to anything;
with this knowing I step out from hierarchy, competition and struggle.

In this state I do not judge life;
therefore I do not feel separate from it.

I am so glad of the diversity in the world;
in its reflection I see my own freedom to be whatever I wish to be.

We are not here to be one;
we are here to be many.

Through seeing that beyond this illusion we are all one,
we free ourselves to be the many.

I am not tied to any singular path to be a certain way.

I am diverse.

I am ever changing.

I am an explorer of All as truth.

(© Copyright Story Waters 2005)

15 November 2005

Menghindari Perbuatan Tak Beriman

Suatu ketika sekelompok orang melihat Tuhan sedang sibuk dengan pekerjaannya. Salah seorang diantaranya bertanya kepada Tuhan, "Apa yang sedang Engkau lakukan?"
"Aku sedang membuat duplikat diriku, seorang manusia," jawab Tuhan yang kemudian balik bertanya, "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
Orang itu menjawab, "Kami sedang membentuk Tuhan ke dalam rupa kami."

Itulah tragedi sepanjang masa. Kita begitu mudah menjadi 'tidak serupa Allah' dan mulai mendekonstruksi Tuhan ke dalam rupa manusia.

Milyaran uang dipakai untuk mengkonstruksi bangunan-bangunan megah untuk merumahkan Tuhan, yang dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang tak beriman. Tempat-tempat ibadah kita telah menjadi pusat-pusat pelestarian perilaku yang mana kefanatikan dan idolatry (mengagungkan seseorang atau kitab tertentu sebagai satu-satunya sumber dan jalan kebenaran), kecanduan, dan nafsu (amarah, curiga, iri, benci, menghakimi, dll.) telah diterima atau dianggap wajar. Kita lupa bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent). Dia berada di dalam kita semua dan tempat yang paling disukai adalah hati yang baik hati, tulus dan welas asih.

Manusia berevolusi oleh Alam sebagai spesies yang memiliki pikiran sendiri untuk memilih Jalan hidupnya, untuk menjadi serupa atau tidak serupa dengan Allah. Namun kita telah mengecilkan hati Tuhan. Kekuatan mental yang seyogyanya adalah anugerah terbukti menjadi kutukan terbesar yang menggerogoti Tuhan sendiri.

Tuhan menginginkan kita untuk menjalani kehidupan yang lepas dari ikatan-ikatan. Namun kita justru telah melepaskan diri kita dari Tuhan.
Melakukan kebaikan adalah menjadi seperti Tuhan. Tetapi kita telah menjadi tidak serupa Tuhan dengan begitu banyaknya pilihan-pilihan keliru yang telah kita perbuat.

Kita harus berhenti dan merenungkan: Sedang kemana kita berjalan? Kita menjarah bumi bagi kebutuhan-kebutuhan kita yang tak pernah dapat terpuaskan dan menghancurkan jiwa kita demi ego, harga diri dan kebanggaan.

Untuk mencapai Tuhan, kita harus berperilaku seperti Tuhan. Kita harus selalu mencoba berbuat baik dan melakukannya terus menerus tanpa membuang waktu sedikitpun.

(disadur dari The Nazarene Way)

Kegagalan Gereja-gereja

Pertama yang perlu ditegaskan: Kristus tidak gagal. Yang mengalami kegagalan adalah manusia yang telah merintangi maksud dan tujuanNya, serta menyalahgunakan kebenaran yang telah Dia berikan.

Teologi, dogma, doktrin, materialisme, politik, dan uang telah menciptakan awan gelap yang besar antara gereja-gereja dan Tuhan. Mereka telah menutupi pandangan sejati akan cinta Tuhan. Kita harus kembali kepada pandangan sejati akan realitas cinta Tuhan dan mengenal implikasinya.

Tapi mungkinkah penyegaran iman dalam Kristus dapat kembali seperti semula? Apakah ada cukup laki-laki dan perempuan yang memiliki pandangan bahwa gereja ada untuk manusia, bukan sebaliknya untuk perkembangan dan kejayaan gereja-gereja? Orang-orang berpandangan seperti itu ada di dalam setiap institusi agama, namun jumlahnya masih sangat sedikit.

Bahkan jika dipersatukan (yang sepertinya hampir mustahil akibat perbedaan-perbedaan doktrin), jumlahnya belum mampu menandingi kekuasaan institusi agama yang materialistis, yang punya kepentingan golongan tertentu, dan fanatik terhadap kerohaniannya masing-masing.

Biasanya para minoritas inilah yang setia menjaga pandangan yang sejati, mereka berjalan di jalan yang penuh ketidakbahagiaan akan penderitaan umat manusia, sehingga mereka merasakan perlunya pembaharuan agama.

Kotbah-kotbah keagamaan, warta, berita dan majalah keagamaan kita selalu dipenuhi oleh berbagai ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk kembali kepada Tuhan dan menemukan dalam agama jalan keluar dari berbagai kondisi yang semrawut saat ini. Akan tetapi, umat manusia sudah jauh lebih sadar akan nilai-nilai spiritual dan akan perlunya revaluasi dan realisasi spiritual.

Seruan-seruan itu justru seharusnya dialamatkan kepada para pemimpin gereja dan rohaniwan dari seluruh aliran agama. Merekalah yang seharusnya kembali kepada iman yang sederhana seperti dalam Kristus. Merekalah yang butuh pembaharuan, regenerasi. Dimana-mana orang meminta cahaya pencerahan. Jadi, siapa yang memberikan kepada mereka?

Ada dua faktor utama yang menjadi penyebab kegagalan gereja-gereja:

1. Interpretasi teologis yang sempit terhadap Kitab Suci.
2. Ambisi-ambisi materialistik (kesejahteraan, kekayaan, kejayaan) dan politik

Dari jaman ke jaman orang telah berupaya menyelipkan berbagai interpretasi religius pribadinya akan kebenaran, Kitab Suci dan Tuhan atas orang banyak.

Mereka telah mengambil kitab-kitab dunia dan mencoba menjelaskannya, meneruskan ide-ide yang ditemukan melalui saringan dari pikiran mereka, dan dalam proses telah menurunkan arti sesungguhnya. Tidak selesai sampai disini, para pengikutnyapun telah memaksakan interpretasi-interpretasi (teologi) buatan manusia itu kepada orang-orang awam.

Semua agama - Buddhisme, Hinduisme dalam berbagai aspeknya, Muhammadanisme (Islam) dan Kekristenan - telah menghasilkan jemaah-jemaah terkemuka yang belajar (biasanya secara tulus) memahami apa yang semestinya Tuhan telah katakan, siapa yang merumuskan doktrin dan dogma yang didasarkan atas apa yang mereka pikir Tuhan maksudkan, sehingga kemudian gagasan, pernyataan-pernyataan mereka dijadikan hukum agama dan kebenaran-kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah.

Dalam analisa terakhir, apa yang Anda miliki? Gagasan-gagasan dari pemikiran orang - yang diinterpretasi menurut kondisi jaman, tradisi dan latar belakangnya - mengenai apa yang Tuhan katakan dalam sebagian Kitab yang telah melalui berabad-abad kesulitan dan kesalahan terjemahan berkesinambungan - terjemahan yang seringkali didasarkan ajaran dari mulut ke mulut.

Doktrin akan inspirasi lisan pada Kitab-kitab suci dunia pada saat ini telah meledak, dan bersama dengan itu, klaim kebenaran akan interpretasinya. Seluruh kitab suci di dunia kini tampak didasarkan oleh terjemahan yang tidak akurat dan tidak ada bagian yang - setelah ribuan tahun diterjemahkan - masih benar-benar merupakan aslinya, jika memang ada manuskrip aslinya dan bukan pada kenyataannya sebagai ingatan dari
beberapa orang tentang apa yang diajarkan.

Di saat yang bersamaan, perlu diingat bahwa trend umum dan ajaran dasar, serta arti simbol-simbol keagamaan, biasanya benar, walaupun, simbolisme itu sendiri perlu didasarkan pada terjemahan modern dan tidak pada misinterpretasi ketidaktahuan.

Semakin kuno suatu Kitab, akan semakin besar distorsi yang terjadi. Doktrin akan Tuhan yang suka membalas dendam, doktrin akan siksa neraka, ajaran bahwa Tuhan hanya mengasihi mereka yang menganut ajaran teologis tertentu, simbolisme kurban darah, pemberian Salib sebagai simbol Kristen, ajaran tentang Lahir dari Perawan, dan penggambaran akan amarah Tuhan yang hanya dapat ditebus dengan kematian, merupakan hasil-hasil yang tidak menyenangkan dari pemikiran manusia sendiri, dari sifat dasar terendahnya, dari sikap isolasionisme sektariannya dan dari perasaan takutnya, yang
diwarisi dari sisi binatang manusia - kesemuanya ini dilestarikan dan ditanamkan tapi bukan oleh Kristus, Buddha, atau Sri Krishna.

Pikiran-pikiran kecil para manusia di jaman dahulu dan pada taraf evolusi saat ini tidak pernah dapat memahami pikiran dan tujuan Tuhan yang "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada." Mereka telah menginterpretasi Tuhan sesuai dengan pandangan-pandangan mereka sendiri, oleh karena itu ketika seseorang menerima sebuah dogma tanpa berpikir, dia hanya menerima pandangan yang mungkin keliru dari orang lain, dan bukan menerima kebenaran ilahi.

Disinilah pentingnya seminar-seminar teologi untuk mulai mengajarkan dan melatih para laki-laki dan perempuan agar berpikir untuk dirinya sendiri dan mengingat bahwa kunci kebenaran terletak dalam kekuatan yang mempersatukan dari perbandingan agama-agama.

Hanya prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran yang diakui secara universal dan ditemukan dalam setiap agama yang perlu diselamatkan.

Penyajian kebenaran yang terdistorsi adalah satu hal yang telah membawa umat manusia kepada formulasi berbagai doktrin yang bukan berasal dari Kristus.

Kristus hanya menekankan agar manusia mengenal bahwa Tuhan adalah cinta, dan seluruh manusia adalah anak-anak dari satu Bapa, sehingga semuanya adalah saudara. Bahwa roh manusia adalah kekal dan tidak ada kematian. Dia rindu akan berkembangnya kesadaran akan Kristus di dalam setiap orang yang membuat kia satu dengan yang lain dan dengan Kristus. Dia mengajarkan bahwa pelayanan adalah garis pokok dari kehidupan spiritual, dan bahwa kehendak Tuhan akan dinyatakan.

Hal-hal seperti itu yang sayangnya justru tidak dijadikan pokok dalam kotbah maupun penulisan oleh berbagai komentator. Mereka telah terlalu sering membicarakan bagaimana Kristus adalah 100% Tuhan dan 100% manusia, bagaimana Dia Lahir dari
Perawan, tujuan Santo Paulus sebagai pengajar kebenaran Kristen, tentang neraka, keselamatan melalui kurban darah, serta otentisitas dan historisitas dari Kitab Suci.

Yang perlu dipahami adalah bahwa dogma dan doktrin, teologi dan syahadat, tidak semata-mata menunjukkan kebenaran yang ada dalam pikiran Tuhan, yang diklaim dimengerti dan dijadikan otoritas oleh sebagian besar penterjemah dogmatis.

disadur dari:
Problems of Humanity - Chapter V - The Problem of the Churches
Alice Bailey & Djwhal Khul (1947)

14 November 2005

kita adalah satu

Aku dan Bapa adalah satu. (Yoh 10:30)

Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: (17:22)

Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku. (17:23)

dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka. (17:26)

demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. (Roma 12:5)

Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama (1 Kor 3:8)

Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu. (10:17)

Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.
Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.
Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh?
Dan andaikata telinga berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? (12:12-16)

Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh. (12:20)

saudaraku,
kini saatnya untuk memperbarui
kantong kulit yang tua yang sudah hancur dengan yang baru,
saatnya untuk bangun pada kesadaran ini,
bahwa umat manusia,
seluruh umat manusia, adalah satu tubuh..

dengan kesadaran ini,
manusia dapat memahami arti
'kasihilah tetanggamu seperti dirimu sendiri,'
'kasihilah musuh-musuhmu..'
karena kita adalah satu tubuh..

dengan kesadaran ini,
manusia dapat merentangkan kedua belah tangannya
kepada perdamaian sejati
dengan alam, mahluk hidup, manusia..

dengan kesadaran ini,
manusia dapat membuka diri kepada beragam kemungkinan baru,
memulai peradaban baru yang jauh lebih baik,
yang dilandasi cinta kasih bukan takut,
persaudaraan bukan permusuhan,
kerja sama (saling melayani) bukan persaingan..

kau, aku, tuhan,
kita adalah satu

(kutipan dari alkitab terjemahan resmi LAI)