21 November 2005

Absurditas kepercayaan-kepercayaan religius

Sebuah panggilan untuk perubahan




Mengapa dialog agama selalu gagal

Saya menyadari bahwa komunikasi, dialog adalah cara yang baik untuk menumbuhkan pluralisme, etika dan sikap-sikap yang toleran di antara umat, beragama maupun tidak.

Akan tetapi berdialog dengan seorang yang terdogmatisir agama seringkali menjadi satu hal yang tersulit, hanya karena (yang saya amati) ada dua penyumbat dialog yang digunakan untuk menutup dirinya dari ketakutannya akan kemungkinan perubahan iman atau kepercayaan yang dianut jika dia menerima suatu gagasan tertentu. Penyumbat-penyumbat komunikasi itu adalah, pertama, "jangan gunakan logika/pikiran." kedua, "itu ada di alkitab." Saya akan mencoba menjelaskan secara singkat permasalahannya dari sudut pandang saya, implikasinya secara umum dalam agama-agama, dan apa yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki kondisi dunia saat ini.

"Jangan gunakan logika.."

Adalah kalimat yang hampir selalu diucapkan "orang percaya" ketika membahas atau berdiskusi tentang misteri tuhan. Ketika saya pernah membahas dengan seorang rekan mengenai hal-hal keagamaan yang diluar lingkup kepercayaan agama katholik, saya diingatkan untuk "jangan terlalu dipikirkan, yang penting percaya saja."
Saya ingat juga ketika para anggota milis salah satu gereja membahas seorang pastur yang diketahui telah melanggar aturan selibat dan selama beberapa tahun telah menjalin cinta dengan orang lain, kita diingatkan kembali untuk "tidak usah pusing, biarlah para romo saja yang memikirkan hal itu."
Dalam hampir setiap pembicaraan dengan berbagai rekan, dapat muncul pernyataan yang mengingatkan agar kita tidak boleh memakai logika untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut agama, apalagi tuhan. Tuhan hanya dapat dirasakan keberadaannya di hati.

Saya setuju, tuhan yang tak terbatas tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh logika manusia yang terbatas. Tapi yang kemudian terjadi justru sangat kontradiktif, dimana orang beragama diharuskan untuk melandaskan pemahamannya tentang tuhan semata-mata pada keterbatasan logika dan cara pandang orang-orang terkemuka maupun para nabi yang pernah hidup di jaman ribuan tahun yang lalu yang diajarkan dari mulut ke mulut dan kemudian dituliskan dalam apa yang menjadi kumpulan manuskrip yang lalu dianggap sebagai inspirasi roh atau bisikan malaikat dan kemudian dijadikan sebagai kitab suci. Dan karena karena telah dianggap "suci" -bahkan masih banyak yang meyakini alkitab sebagai tulisan atau kata-kata dari Tuhan sendiri- sehingga pada akhirnya tidak boleh diperbantahkan oleh siapapun.

Dus, hal ini membawa kita kepada problematika selanjutnya, penyumbat yang kedua.

"It's in the bible.."

Satu kalimat itu dapat membuat sebuah diskusi berhenti mati. Hal ini berulang kali saya alami dalam berbagai kesempatan berdiskusi khususnya dengan orang beragama konservatif, seperti misalnya diskusi homoseksualitas, pendidikan anak, dsb, yang segera berhenti ketika orang itu telah berkata, "itu ada di alkitab."
Berbagai pandangan yang membenarkan sikap memusuhi atau menajiskan homoseksualitas berasal dari alkitab. Berbagai pandangan orang tua bahwa anak-anaknya harus dipukuli berasal dari alkitab.
Maka jika seseorang sudah menyatakan, "itu ada di alkitab," end of discussion. Apapun argumen yang saya berikan akan ditolak mentah-mentah, tidak mau dipertimbangkan. Dialog berhenti, karena jika diteruskan, seringkali menjadi debat kusir yang mungkin tidak ada habisnya, sehingga suasana menjadi memanas dan dapat merusak persahabatan.

Setelah menjumpai perilaku tersebut dalam cara pikir banyak orang, saya dapat memahami mengapa kepercayaan dan tradisi dalam agama seringkali tidak boleh dipertanyakan, karena mempertanyakan agama ekuivalen dengan mempertanyakan atau dapat dianggap meragukan tuhan, dinilai imannya lemah, bahkan dapat dicap sesat, murtad.

Kalau kita bertanya lagi mengapa bisa sampai begitu? jawabannya kembali lagi pada penyumbat pertama, "jangan pakai logika."
Dua penyumbat ini, telah menjerumuskan manusia ke dalam lembah ketidakpedulian dan intoleransi, serta menumbuh-kembangkan sikap denial/penolakan-penolakan terhadap rasio dan realitas.
Disadari atau tidak, dua penyumbat ini menurut saya adalah kunci sukses pertikaian antar umat dan pengkotak-kotakan agama yang selama ini terus berlangsung.

Ineransi dan infalibilitas alkitab/alqur'an

Kecenderungan yang sering saya jumpai, adalah kepercayaan bahwa alkitab tidak mungkin memiliki kesalahan. Alkitab adalah ineran, infalibel, suci. Yang mungkin salah adalah interpretasi dari manusia-manusia. Saya paham jika orang menuding kepada interpretasi yang dianggap menyimpang, karena banyak sekali perbedaan interpretasi orang-orang percaya akan berbagai ayat dalam alkitab yang diakui maupun tidak telah membuahkan kebingungan dan perpecahan yang dahsyat di antara umat gereja-gereja.

Tapi dari yang saya pelajari, sebagian besar manuskrip yang terkumpul dalam alkitab itu banyak merupakan penggambaran akan peradaban dunia di masa lalu dimana kepercayaan adanya perang antara dewa-dewa atau antara tuhan dengan setan masih begitu kental, menggambarkan pemikiran orang-orang di masa itu tentang dua wajah tuhan yang kontradiktif, yang mana di satu sisi maha pengasih dan penyayang, di sisi lain maha pemarah, pendendam, pencemburu, haus darah, dan lain sebagainya.

Bagaikan pisau, sebuah alkitab merupakan paradoks yang di satu sisi mengandung kata-kata bijak, di sisi lain mengandung ayat-ayat yang terus menuai berbagai interpretasi kepercayaan teologis yang absurd, sebagai contoh antara lain:

- tuhan harus ditakuti,
- tuhan pemarah, pencemburu, pendendam, suka perang,
- manusia dilahirkan dalam dosa
- manusia terpisah dari tuhan
- orang berdosa masuk neraka
- orang yang tidak percaya kepada tuhan, atau tidak bertobat, setelah mati akan disiksa di neraka,
- anak harus dipukul,
- orang yang murtad harus dibunuh,
- pandangan sosio-biologi yg simplistik ttg jender,
- homoseksual harus dibunuh karena melanggar kodrat,
- perempuan harus tunduk pada laki-laki karena itu kodratnya,
- dosa manusia ditebus dengan darah kristus,
- gereja adl penerus tubuh kristus di dunia,
- ratusan ramalan akhir jaman yang menakutkan, kiamat, hari penghakiman,
- air, minyak, atau ornamen, batu-batuan tertentu yang telah melalui proses ritual, dipercaya memiliki kekuatan mujizat,
- infalibilitas paus (dinyatakan pertama kali pada Konsili Vatikan I tahun 1869-1870),
- dan masih banyak hal lainnya.

Hal yang sama (dari yang insignifikan hingga kekerasan, perintah-perintah untuk membunuh dsb.) banyak terkandung di dalam alqur'an.

Sebagian besar pengikut aliran kepercayaan agama (islam, kristen, dan lainnya) telah banyak mengesampingkan, dan menekan, merepresi akal budi, logika kita sebagai mahluk yang memiliki kapasitas intelektual tinggi, demi suatu dogma atau kepercayaan yang menjatuhkan akhlak manusia ke tingkat yang sulit dibayangkan untuk abad ini, yang dilandaskan semata-mata pada sebuah -hasil terjemahan ribuan tahun- kitab yang diterima dan diagungkan sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang mutlak.

Oleh karena satu hal dan yang lain yang saling kontradiktif tersebut, saya dapat memahami mengapa orang dalam beragamanya merasa perlu menekan bahkan menghilangkan rasionalitas, logikanya, yang akibatnya justru fatal.

Iman vs. rasio

Liberalisasi logika, penggunaan rasio, dan pengembangan ilmu pengetahuan telah terbukti berulang kali menyelamatkan peradaban manusia dari kegelapan yang diakibatkan oleh ketidakpedulian institusi-institusi agama yang telah mengesampingkan logika dan etika.

Kita kini menyadari bahwa bumi itu bulat, tidak datar, kita menyadari bahwa matahari tidak mengelilingi bumi. Kita mengetahui bahwa seseorang yang mengalami kejang akut tidak berarti dia dirasuki setan. Kita menyadari bahwa memukul anak bukanlah cara yang bijak dalam mengasuh. Kita juga menyadari dari ratusan ramalan biblikal tentang akhir jaman di masa lalu, tidak ada satupun yang terjadi.

Akan tetapi hingga saat ini pengesampingan logika demi kepercayaan-kepercayaan absurd masih ada dan terus dilestarikan, jika tidak mau dikatakan semakin meledak.

Kemudian, jika saya amati Islam dan terorisme, fakta menunjukkan telah berulangkali terjadi bom bunuh diri yang direncanakan secara sistematis, pembunuhan terhadap golongan yang dianggap kafir, berbagai bentuk penindasan terhadap orang yang tidak seagama, dan lain-lain. Kesemuanya itu (dari pengamatan saya) merupakan hasil interpretasi dari kitab suci oleh orang-orang yang dikatakan sebagai fundamentalis, literalis. Menjadi ironi ketika sebagian kelompok yang moderat atau liberal menuding itu bukan bagian dari agamanya. Disini telah terjadi denial, pengesampingan logika.

Jika kelompok fundamentalis telah berada dalam penolakan, menutup pandangan terhadap pluralisme yang terkandung dalam agamanya, kelompok moderat-liberal telah menutup sebelah mata pada kenyataan bahwa agamanya memiliki kaitan yang signifikan dengan kekerasan, penindasan, dan peperangan yang dilakukan kelompok fundamentalis.

Perubahan

Yang ingin saya sampaikan adalah, salah satu persoalan utama yang sedang kita hadapi (yang justru kita abaikan) terletak pada teks-teks, ayat-ayat yang ada di dalam alkitab, alqur'an, yang -ditilik dari ekses negatifnya- telah melestarikan berbagai bentuk kepercayaan-kepercayaan absurd di berbagai kalangan masyarakat yang menjadi landasan untuk terjadinya berbagai kekerasan, penindasan dan penderitaan yang terus terjadi di dunia saat ini.

Sepanjang teman-teman kita dari kalangan moderat atau bahkan liberal tetap menggunakan "mata pisau" yang sama digunakan oleh orang-orang konservatif-fundamentalis untuk melestarikan kebencian dan keinginan membunuh/menghancurkan, kekerasan dan pembunuhan atas nama tuhan akan berulang kembali terus menerus. Dan dialog sebetapapun intensifnya dilakukan, akan sia-sia sepanjang dua penyumbat tetap dipasang.

Kita perlu mulai mengambil langkah konkrit untuk mengakui dan menghargai kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari sejarah masa lalu. Kita perlu membuka diri dan membuang penyumbat-penyumbat dialog, serta mengakui secara tulus bahwa ada yang salah dalam sebagian dari kepercayaan-kepercayaan yang kita anut.
Demi generasi-generasi selanjutnya, kita perlu sepakat untuk melakukan perubahan, amandemen, koreksi tidak hanya terhadap interpretasi tapi juga ayat-ayat dari kitab suci masing-masing agama. Ayat-ayat ambigu yang berpotensi/telah menimbulkan berbagai tragedi yang menyengsarakan umat manusia seperti perang, kekerasan, pembunuhan, diskriminasi jender, dan nilai-nilai usang lain yang sudah bukan masanya lagi perlu ditinggalkan, dimusiumkan, dan dihapus dari doktrin kepercayaan agamanya agar tidak lagi dapat disalahgunakan, disalahinterpretasikan untuk kepentingan atau egotisme seseorang atau kelompok.

Singkatnya, agama -baik islam, kristen/katholik, dan lainnya- sudah waktunya harus diubah, disegarkan, diperbarui. Dan perubahan kali ini harus radikal, dan berkesinambungan. Pandangan-pandangan dan pemahaman akan tuhan yang paradoksikal dan eksklusif, perlu dialihkan menjadi open-source, yang saling bergantung dan saling melengkapi satu sama lain, interdependen. Agama harus menarik dirinya yang telah begitu mengakar ke dalam budaya, sosial dan politik masyarakat. Institusi agama perlu kembali pada jati dirinya sebagai murni agama, kembali pada fungsinya semula sebagai penasihat bijak yang mampu beradaptasi pada berbagai perubahan sosial, menunjang stabilitas moral dalam masa transisi perubahan, menumbuhkan persaudaraan antara umat manusia dalam mengarungi perkembangan jaman yang dinamis.

Impossibility? Tidak. Inevitability. Agama diadakan untuk kesejahteraan umat manusia, bukan sebaliknya untuk kejayaan agama. Agama-agama HARUS berubah, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri, demi masa depan peradaban dan generasi umat manusia yang lebih baik.

No comments: