06 December 2005

quo vadis, agama?

"Ada yang salah dalam agama..," demikian diungkapkan Ulil Abshar-Abdalla beberapa waktu lalu. Dan saya pikir tidak hanya dalam islam, tetapi kekristenan dan judaisme (to name a few). Selama dalam agama ada masalah, agama tidak bisa dijadikan solusi tuntas bagi umat manusia, tapi hanya akan menimbulkan masalah2 baru. Pluralisme membantu kita menghargai agama apa adanya. tapi tidak banyak membantu memperbaiki, mengkoreksi ajaran/kepercayaan agama yg tidak harmonis dengan etika global dan nilai-nilai kemanusiaan dunia saat ini.

Kelemahan pluralisme, imo, adl kecenderungannya mengabaikan 'borok-borok' dalam agama demi menghargai kebersamaan.
Masing-masing punya jalan, setiap jalan menuju tuhan, dan semua jalan sesungguhnya satu, kira-kira begitu ungkapan pujangga Rumi. Sungguh indah. Larut menjadi satu. Dan kalau kita menarik benang merah dalam masing-masing agama islam, kristen, buddha, hindu, konghucu terdapat satu ajaran moral yg sama, "the golden rule."
Tapi itu hanya akan dapat diapresiasi sepenuhnya jika manusia sudah memilih transcend ke paradigma baru, mencapai tingkat evolusi yg lebih tinggi, melakukan shift of consciousness.

Apakah ramai-ramai mengunjungi FPI dapat mengubah religiositas mereka menjadi ramah thd lingkungan, ramah thd sesama? saya rasa tidak juga. Masalahnya bukan pada mereka per se. Tapi pada agama yang melandasi pemahaman dan cara berpikir mereka. Dan menjadi masalah ketika agama menempatkan suatu sistem, aturan, pandangan-pandangan ribuan tahun yang lalu tentang tuhan dan hubungannya dengan umat manusia ke dalam status quo yang diabadikan menjadi kitab suci. kitab suci yg menjadi landasan agama yg menjadi landasan pemahaman mereka.

Problemnya ada pada kitab suci yg sehari-hari kita gunakan. kitab suci sama yg digunakan oleh para teroris. kitab sama yg dipegang para pelaku korupsi, para pelaku kekerasan, dll.

Sementara hampir semua bidang lainnya sudah mengalami kemajuan pesat, agama tetap stagnan. Karena seluruh nilai-nilai moral ajarannya didasarkan semata-mata pada moralitas peradaban jaman kitab-kitab itu ditulis. Dan ironis, ketika kalangan moderat mencap para teroris itu bukan islam, atau, perilaku kekerasan pada seseorang bukan dari agamanya. kontradiktif pada realitas bahwa kitab suci (torah, alkitab dan alqur'an misalnya) mengandung -selain nilai-nilai bijak- pandangan2 yg memicu totalitarianisme yg merepresi kritik dan kebebasan, serta begitu banyak nilai-nilai kekerasan, barbarisme dan tribalisme yg tertanam di dalam alam bawah sadar para penganutnya, yang termanifestasi ke dunia seperti yang kita saksikan saat ini.

Para pemikir masa kini seperti antara lain Sam Harris dlm bukunya The End of Faith, Sankara Saranam (God Without Religion), atau Neale Donald Walsch (Tomorrow's God) sedikitnya telah berusaha memberikan warning signs akan adanya problem krusial dlm agama-agama yg kita hadapi sekarang ini.

Saya pikir kita perlu memperbarui pandangan-pandangan kita tentang agama, merevaluasi aspek2 yg ada dalam agama, melakukan koreksi terhadap sebagian kepercayaan kita yang sudah tidak sejalan dengan kehidupan. Saya ambil contoh dari apa yang dilakukan Thomas Jefferson pada alkitab. Upaya beliau adalah mengekstrak nilai-nilai etika moral ajaran Yesus, melepaskannya dari dogma, mitologi dan tahyul2 supranatural yang menyelimuti ajarannya, ke dalam kemasan baru yg lebih jernih, dus the Jefferson's Bible.

Mungkin hal2 semacam itu bisa kita lakukan. kita perlu mau membuka diri, mau menyadari dan mengakui berbagai kekeliruan yg ada dalam doktrin-doktrin agama yg dianut, dan melakukan perbaikan pada kitab suci.

Demi masa depan peradaban, masa depan umat manusia.

No comments: