Pertama yang perlu ditegaskan: Kristus tidak gagal. Yang mengalami kegagalan adalah manusia yang telah merintangi maksud dan tujuanNya, serta menyalahgunakan kebenaran yang telah Dia berikan.
Teologi, dogma, doktrin, materialisme, politik, dan uang telah menciptakan awan gelap yang besar antara gereja-gereja dan Tuhan. Mereka telah menutupi pandangan sejati akan cinta Tuhan. Kita harus kembali kepada pandangan sejati akan realitas cinta Tuhan dan mengenal implikasinya.
Tapi mungkinkah penyegaran iman dalam Kristus dapat kembali seperti semula? Apakah ada cukup laki-laki dan perempuan yang memiliki pandangan bahwa gereja ada untuk manusia, bukan sebaliknya untuk perkembangan dan kejayaan gereja-gereja? Orang-orang berpandangan seperti itu ada di dalam setiap institusi agama, namun jumlahnya masih sangat sedikit.
Bahkan jika dipersatukan (yang sepertinya hampir mustahil akibat perbedaan-perbedaan doktrin), jumlahnya belum mampu menandingi kekuasaan institusi agama yang materialistis, yang punya kepentingan golongan tertentu, dan fanatik terhadap kerohaniannya masing-masing.
Biasanya para minoritas inilah yang setia menjaga pandangan yang sejati, mereka berjalan di jalan yang penuh ketidakbahagiaan akan penderitaan umat manusia, sehingga mereka merasakan perlunya pembaharuan agama.
Kotbah-kotbah keagamaan, warta, berita dan majalah keagamaan kita selalu dipenuhi oleh berbagai ajakan kepada laki-laki dan perempuan untuk kembali kepada Tuhan dan menemukan dalam agama jalan keluar dari berbagai kondisi yang semrawut saat ini. Akan tetapi, umat manusia sudah jauh lebih sadar akan nilai-nilai spiritual dan akan perlunya revaluasi dan realisasi spiritual.
Seruan-seruan itu justru seharusnya dialamatkan kepada para pemimpin gereja dan rohaniwan dari seluruh aliran agama. Merekalah yang seharusnya kembali kepada iman yang sederhana seperti dalam Kristus. Merekalah yang butuh pembaharuan, regenerasi. Dimana-mana orang meminta cahaya pencerahan. Jadi, siapa yang memberikan kepada mereka?
Ada dua faktor utama yang menjadi penyebab kegagalan gereja-gereja:
1. Interpretasi teologis yang sempit terhadap Kitab Suci.
2. Ambisi-ambisi materialistik (kesejahteraan, kekayaan, kejayaan) dan politik
Dari jaman ke jaman orang telah berupaya menyelipkan berbagai interpretasi religius pribadinya akan kebenaran, Kitab Suci dan Tuhan atas orang banyak.
Mereka telah mengambil kitab-kitab dunia dan mencoba menjelaskannya, meneruskan ide-ide yang ditemukan melalui saringan dari pikiran mereka, dan dalam proses telah menurunkan arti sesungguhnya. Tidak selesai sampai disini, para pengikutnyapun telah memaksakan interpretasi-interpretasi (teologi) buatan manusia itu kepada orang-orang awam.
Semua agama - Buddhisme, Hinduisme dalam berbagai aspeknya, Muhammadanisme (Islam) dan Kekristenan - telah menghasilkan jemaah-jemaah terkemuka yang belajar (biasanya secara tulus) memahami apa yang semestinya Tuhan telah katakan, siapa yang merumuskan doktrin dan dogma yang didasarkan atas apa yang mereka pikir Tuhan maksudkan, sehingga kemudian gagasan, pernyataan-pernyataan mereka dijadikan hukum agama dan kebenaran-kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah.
Dalam analisa terakhir, apa yang Anda miliki? Gagasan-gagasan dari pemikiran orang - yang diinterpretasi menurut kondisi jaman, tradisi dan latar belakangnya - mengenai apa yang Tuhan katakan dalam sebagian Kitab yang telah melalui berabad-abad kesulitan dan kesalahan terjemahan berkesinambungan - terjemahan yang seringkali didasarkan ajaran dari mulut ke mulut.
Doktrin akan inspirasi lisan pada Kitab-kitab suci dunia pada saat ini telah meledak, dan bersama dengan itu, klaim kebenaran akan interpretasinya. Seluruh kitab suci di dunia kini tampak didasarkan oleh terjemahan yang tidak akurat dan tidak ada bagian yang - setelah ribuan tahun diterjemahkan - masih benar-benar merupakan aslinya, jika memang ada manuskrip aslinya dan bukan pada kenyataannya sebagai ingatan dari
beberapa orang tentang apa yang diajarkan.
Di saat yang bersamaan, perlu diingat bahwa trend umum dan ajaran dasar, serta arti simbol-simbol keagamaan, biasanya benar, walaupun, simbolisme itu sendiri perlu didasarkan pada terjemahan modern dan tidak pada misinterpretasi ketidaktahuan.
Semakin kuno suatu Kitab, akan semakin besar distorsi yang terjadi. Doktrin akan Tuhan yang suka membalas dendam, doktrin akan siksa neraka, ajaran bahwa Tuhan hanya mengasihi mereka yang menganut ajaran teologis tertentu, simbolisme kurban darah, pemberian Salib sebagai simbol Kristen, ajaran tentang Lahir dari Perawan, dan penggambaran akan amarah Tuhan yang hanya dapat ditebus dengan kematian, merupakan hasil-hasil yang tidak menyenangkan dari pemikiran manusia sendiri, dari sifat dasar terendahnya, dari sikap isolasionisme sektariannya dan dari perasaan takutnya, yang
diwarisi dari sisi binatang manusia - kesemuanya ini dilestarikan dan ditanamkan tapi bukan oleh Kristus, Buddha, atau Sri Krishna.
Pikiran-pikiran kecil para manusia di jaman dahulu dan pada taraf evolusi saat ini tidak pernah dapat memahami pikiran dan tujuan Tuhan yang "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada." Mereka telah menginterpretasi Tuhan sesuai dengan pandangan-pandangan mereka sendiri, oleh karena itu ketika seseorang menerima sebuah dogma tanpa berpikir, dia hanya menerima pandangan yang mungkin keliru dari orang lain, dan bukan menerima kebenaran ilahi.
Disinilah pentingnya seminar-seminar teologi untuk mulai mengajarkan dan melatih para laki-laki dan perempuan agar berpikir untuk dirinya sendiri dan mengingat bahwa kunci kebenaran terletak dalam kekuatan yang mempersatukan dari perbandingan agama-agama.
Hanya prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran yang diakui secara universal dan ditemukan dalam setiap agama yang perlu diselamatkan.
Penyajian kebenaran yang terdistorsi adalah satu hal yang telah membawa umat manusia kepada formulasi berbagai doktrin yang bukan berasal dari Kristus.
Kristus hanya menekankan agar manusia mengenal bahwa Tuhan adalah cinta, dan seluruh manusia adalah anak-anak dari satu Bapa, sehingga semuanya adalah saudara. Bahwa roh manusia adalah kekal dan tidak ada kematian. Dia rindu akan berkembangnya kesadaran akan Kristus di dalam setiap orang yang membuat kia satu dengan yang lain dan dengan Kristus. Dia mengajarkan bahwa pelayanan adalah garis pokok dari kehidupan spiritual, dan bahwa kehendak Tuhan akan dinyatakan.
Hal-hal seperti itu yang sayangnya justru tidak dijadikan pokok dalam kotbah maupun penulisan oleh berbagai komentator. Mereka telah terlalu sering membicarakan bagaimana Kristus adalah 100% Tuhan dan 100% manusia, bagaimana Dia Lahir dari
Perawan, tujuan Santo Paulus sebagai pengajar kebenaran Kristen, tentang neraka, keselamatan melalui kurban darah, serta otentisitas dan historisitas dari Kitab Suci.
Yang perlu dipahami adalah bahwa dogma dan doktrin, teologi dan syahadat, tidak semata-mata menunjukkan kebenaran yang ada dalam pikiran Tuhan, yang diklaim dimengerti dan dijadikan otoritas oleh sebagian besar penterjemah dogmatis.
disadur dari:
Problems of Humanity - Chapter V - The Problem of the Churches
Alice Bailey & Djwhal Khul (1947)
No comments:
Post a Comment